Ada beberapa amalan yang secara syari’ dapat diaplikasikan umat Islam,
khususnya dalam upaya menjaga keseimbanagan antara jasmani dan rohani serta dalam upaya menjaga kesehatan dari berbagai penyakit yang tampak maupun yang gaib disebabkan bakteri, virus ataupun sebab lain bisa menyebabkan penyakit dalam diri manusia. Adapun amalan tersebut adalah:
Menjaga Wudlu
Secara bahasa berwudlu berasal dari kata wadoah yang artinya
kebersihan. sedangkan menurut istilah syariat Islam wudlu
adalah "menggunakan air untuk membasuh anggota tertentu yang diawali dengan
niyat"[1], khususnya
anggota yang menjadi bagian dari rukun wudlu yang terdiri dari wajah, kepala, kedua tangan dan kedua kaki. Diitambah anggota kesunahan yang menjadi nilai keutamaan dan kesempurnaan terhadap praktek berwudlu yang terdiri dari hidung
dan telinga.
Anggota-anggota wudlu ini termasuk organ vital manusia yang sebagiannya terhubung langsung dengan organ dalam, seperti
hidung mata dan telinga menjadi pintu masuk udara, cahaya serta gelombang
radiasi lainnya ke bagian organ seperti paru-paru dan syaraf-syarat yang terhubung secara langsung ke bagian organ luar tersebut.
Maka, dengan berwudlu secara tidak langsung kotoran atau barang yang tidak dikehendaki oleh tubuh dapat dibersihkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah nabi Muhammad saw bersabda: “idzâ istaiqada ahadukum min manamihi falyastantsir tsalâtsan, fainnas syaithona yabîtu ‘alâ khusyûmihi”(mutafaq ‘alaih).
Maka, dengan berwudlu secara tidak langsung kotoran atau barang yang tidak dikehendaki oleh tubuh dapat dibersihkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah nabi Muhammad saw bersabda: “idzâ istaiqada ahadukum min manamihi falyastantsir tsalâtsan, fainnas syaithona yabîtu ‘alâ khusyûmihi”(mutafaq ‘alaih).
Artinya: “Apabila diantara kalian terbangun dari tidur
maka hendaklah menghirup air ke dalam
hidung lalu mengeluarkannya tiga kali karena sesungguhnya syetan tinggal pada batang hidungnya.”
(HR. Mutafak ‘Alaih).
Masih riwayat Abu Harairah nabi Muhammad saw bersabda: “idzâ
istaiqada ahadukum min naumî fala taghmisu yadahu fil inâ haťâ yagsiluhâ
tsalâtsan faińahu lâyadrî aina bâtat yadahu” (mutafaq ‘alaih).
Artinya: “Jika diantara kalian terbagun
dari tidur maka janganlah mencelupkan tangannya kedalam air sehingga dia
mencucinya tiga kali karean tidak diketahui dimana tangannya sekarang”. (HR.
mutafak alaih).
Dari kedua hadits tersebut bahwasanya kedua tangan menjadi sumber utama yang
harus dijaga sebagai anggota yang sering berinteraksi dengan anggota tubuh
lainnya seperti digunakan untuk menutup mulut saat menguap, bersin maupun saat
makan, dan bercebok (untuk tangan kiri).
Begitu pula dengan kaki yang digunakan berinteraksi dengan bagian
bawah mungkin saja ada kotoran yang terbawa saat jalan atau bakteri lainnya,
maka dengan mencucinya menjadi salah
satu jalan menjadi terhindarnya berbagai penyakit. Maka,masuk akal jika
berwudlu menjadi salah satu sarana dijauhkan dari berbagai penyakit [2].
Dzikir, Doa dan Istighfar
Berwudlu menjadi sarana fisik dibersihkannya anggota luar dengan
menggunakan air, sementara istighfar, dzikir dan doa merupakan sarana manusia
untuk membersihkan dari bagian dalam yang secara syariat dzikir, doa dan istigfar yaitu melafalkan kalimat tertentu untuk memohon ampunan dan urusan lainnya
kepada Allah seperti kalimat "astagfirullah al ‘adzim" "subhalallah" dan bentuk kalimat istighfar
masyru’ lainnya khususnya yang bersumber dari al-Quran dan hadits nabi Muhammad
saw.
Kemudian, secara secara hakikat (esensin) dzikir, doa dan istigfar merupakan isyarat bagi manusia untuk senantiasa menjaga
perilaku dari perkara yang dilarang, baik dalam makanan maupun pekerjaan yang menjadi hubungan penting antara lafal istigfar
dzikir dan doa dengan faktor diterimanya amalan tersebut, seperti menjaga hak
orang lain dan mengembalikannya jika pernah dimanfaatkan tanpa kerelaan orang tersebut, atau meminta kerelaannya jika itu berkenaan dengan ucapan dan perbuatan.
Maka, ketika berdzikir, berdoa dan beristigfar hendaknya selalu menjaga niat secara
sadar untuk menjauhi dan tidak mengulangi apa telah dilakukan serta meyakini sepenuhnya atas semua kekuasaan Allah swt sebagai zat yang mengatur dan memberi rizki semua makhluk.
[1]
Zakariya al-Anshari, “asnalmathalib”, Dar al-kutub al-ilmiyah, : birut,
200, j 1, h.28.
Komentar